JAKARTA LIFE'S STYLE
Seluruh elemen masyarakat sipil diminta segera bertindak dan memanfaatkan momen kisruh antara Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terjadi sekarang sebagai kesempatan emas untuk mendorong dan mendesakkan upaya reformasi dan perbaikan total di tubuh Kepolisian RI.
Langkah seperti itu diyakini perlu segera dilakukan mengingat keberadaan Polri, yang selama ini berdiri sendiri dan langsung berada di bawah Presiden, ditambah berbagai kewenangan yang relatif tanpa kontrol, malah justru menjadikan Polri seolah badan super (superbody).
Selain menjadi arogan dalam menjalankan peran dan fungsinya, beberapa kalangan saat dihubungi Kompas, Minggu (1/11), juga mencemaskan kalau selama ini Polri justru dapat dengan mudah dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan di luar dirinya, termasuk oleh para pelaku korupsi.
Sejumlah pernyataan sikap dan penegasan tadi merupakan bentuk reaksi keras atas sikap Polri, yang dinilai sangat arogan dengan menahan dua Wakil Ketua KPK (nonaktif), Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, yang belakangan memicu kontroversi dan kecaman. Penahanan Bibit dan Chandra hanya salah satu dari banyak kasus serupa, yang memang selama ini sering dialami masyarakat.
"Dengan mengatasnamakan kewenangan diskresinya, polisi bisa dengan sewenang-wenang melakukan penahanan. Kami selama ini banyak mendapat pengaduan tentang itu dari banyak daerah," ujar Neta S Pane, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW).
Dia menilai langkah penahanan terhadap Bibit dan Chandra menjadi sangat ironis ketika hal itu dilakukan bersamaan dengan berkumpulnya 217 perwira Polri di Puncak, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu untuk membahas upaya reformasi internal di tubuh institusi tersebut.
Namun, Neta mengaku yakin di dalam tubuh internal Polri sendiri sekarang telah terjadi perpecahan pendapat menyikapi penahanan Bibit dan Chandra. Banyak dari kalangan perwira Polri, menurutnya, tidak setuju terhadap pernahanan tersebut karena diyakini hanya akan merusak berbagai upaya positif yang selama ini telah dicapai.
"Dari beberapa masukan yang saya dapat, banyak perwira yang saat itu sedang berkumpul di Puncak membahas upaya reformasi kepolisian merasa kecewa dengan keputusan penahanan yang diambil segelintir atasan mereka di Jakarta, yang selama ini dikenal memang tidak reformis," ujar Neta.
Para perwira reformis tersebut, tambah Neta, menilai apa yang terjadi di Jakarta sangat ironis jika dibandingkan dengan niat Polri mereformasi diri. Namun, sayangnya sampai sekarang belum muncul keberanian di kalangan para perwira reformis tadi untuk mengungkap penolakan mereka keluar.
Mereka, menurut Neta, tidak berdaya dan merasa khawatir bakal dianggap melawan perintah atasan. Apalagi, dalam tubuh Polri sendiri masih mengenal yang namanya ketaatan pada sabda pandito ratu, yaitu perintah seorang raja atau pimpinan haram untuk dilanggar, apalagi ditentang.
Lebih lanjut Neta menambahkan, kebencian yang muncul di masyarakat terhadap perilaku negatif Polri selama ini berdampak memunculkan keyakinan kalau kewenangan dan kemandirian yang selama ini dimiliki institusi itu adalah sebuah kesalahan.
Penilaian senada juga dilontarkan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Edy Prasetyono.
Dia mengatakan, sudah saatnya kalangan sipil mendorong upaya reformasi total terhadap institusi Polri seperti juga selama ini telah dijalankan dengan baik oleh internal Tentara Nasional Indonesia, yang berada di bawah koordinasi Departemen Pertahanan.
"Jangan lagi Polri mau berkelit, posisi mereka selama ini langsung berada di bawah presiden adalah tuntutan atau mengatasnamakan supremasi hukum. Yang terpenting adalah karakter dari sistemnya. Kita kan jelas tidak akan mungkin mentolerir yang namanya supremasi hukum jika hal itu dilakukan di atau oleh sebuah negara yang otoriter," ujar Edy.(KOMPAS.com)
0 komentar:
Post a Comment