Meskipun bantahan demi bantahan diluncurkan oleh Boediono maupun pihak SBY sebagai pasangannya yang akan maju dalam pemilu presiden mendatang, sejumlah pengamat ekonomi keukeuh menilai Boediono memang menganut paham ekonomi neoliberalisme. Apa saja argumen yang mendasari klaim tersebut?
Mantan Menneg PPN/ Kepala Bappenas zaman Megawati, Kwik Kian Gie, mengatakan punya banyak catatan dalam rekam jejak Boediono sebagai pejabat publik. Sebagian besar langkahnya adalah 'menjual' sumber daya dan fasilitas publik kepada para investor. "Tanya pada Pak Boediono, dia berpendapat atau tidak ketika jalan raya yang mulus bebas hambatan itu harus dikenakan tarif tol, diserahkan kepada investor swasta, domestik maupun internasional. Oleh karena itu, investornya buat laba dan rakyat yang harus bayar tol!?" seru Kwik seusai diskusi bertajuk "JK-Win untuk Indonesia Adil dan Sejahtera: Ekonomi Kemandirian vs Ekonomi Neoliberal" di Jakarta, Jumat (22/5).
Padahal, menurut Kwik, di negara-negara besar di Amerika dan Eropa, seluruh fasilitas dan sumber daya publik dapat dinikmati rakyat secara gratis. Lalu apa lagi? Kwik kemudian menyebutkan beberapa pertanyaan yang patut dilontarkan kepada Boediono untuk membuktikan pria asal Blitar tersebut memiliki mazhab neoliberal.
"Betul atau tidak bahwa Boediono pro penjualan bahan bakar minyak (BBM) suatu waktu ketika Boediono menjabat sebagai Menteri Keuangan meski harganya tinggi? Betul atau tidak bahwa Boediono pro semua jalan bebas hambatan harus dikenakan biaya? Betul atau tidak bahwa Boediono menganggap barang-barang publik yang penting-penting menjadi ajang cari laba untuk investor asing?" tanya Kwik panjang lebar.
Pengamat ekonomi Hendri Saparini dari ECONIT memiliki pendapat serupa. Tiga pilar neoliberal, yaitu stabilitas makro, agenda liberalisasi, dan agenda privatisasi, yang dicetuskan dalam Washington Consensus menjiwai tindakan-tindakan Boediono.
Menurut Hendri, seorang penganut neoliberal tak akan meninggalkannya sedikit pun. Dalam pilar pertama, seorang neoliberal akan membuat kebijakan hanya demi stabilitas makro. Hendri menilai pernyataan-pernyataan SBY menunjukkan ciri ini. Pilihan kebijakannya pun demikian. Mazhab ini mengharuskan pengambilan kebijakan pengurangan atau pemotongan subsidi.
"Tidak salah jika dalam pidato, SBY mengatakan akan menekan inflasi dan ukuran stabilitas makro. Itu hanya akan menguntungkan kelompok kapital," tutur Hendri.
Belum lagi agenda liberalisasi dan privatisasi yang dilakukan oleh Boediono ketika menjabat sebagai Menkeu dalam masa pemerintahan Megawati dan Menko Ekuin dalam pemerintahan SBY. Misalnya, dalam penyusunan UU Migas. Hendri menilai pemerintahan SBY juga marak melakukan privatisasi. Bahkan, saat ini 40 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah didata untuk diprivatisasi, antara lain PT Krakatau Steel dan PT Kereta Api Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment