JAKARTA LIFE'S STYLE. Seni budaya Tionghoa masih banyak yang tak terungkap bahkan sudah hampir punah. Padahal orang Tionghoa berperan dalam pembangunan Batavia. Etnis Tionghoa membawa kebudayaan mereka ke tanah Batavia, yang kemudian menjadi Jakarta, bahkan mempengaruhi kebudayaan orang pribumi dan memperkaya folklor Batavia.
Dalam buku Folklor Tionghoa, James Danandjaja, menulis, folklor Tionghoa adalah bagian dari kebudayaan Tionghoa yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara orang Tionghoa, baik yang berdiam di daratan Tiongkok maupun yang merantau -khususnya ke Indonesia- secara tradisional dalam versi yang berbeda.
Bentuk-bentuk folklor terdiri atas lisan, sebagian, dan bukan lisan. Di dalamnya akan masuk antara lain, legenda, dongeng, adat istiadat, marga, obat-obatan rakyat, permainan rakyat, seni pertunjukan rakyat, makanan dan minuman, seni bangunan, serta musik dan alat musik rakyat.
Dalam hal ini musik dan alat musik rakyat menjadi salah satu folklor Tionghoa yang sepertinya terlupakan, meskipun beberapa tahun belakangan, keberadaan musik dan alat musik Tionghoa mulai kembali ditampilkan. Alat musik klasik Tionghoa mulai diperkenalkan kepada generasi muda sehingga kini bocah usia sekolah dasar pun sudah bisa mengenal, belajar, dan memainkan alat musik yang digunakan nenek moyang mereka lebih dari satu milenium lalu. Salah satu cara tentu melalui sekolah musik.
Delapan golongan
Sebelum beranjak ke sekolah musik khusus alat musik klasik Tionghoa, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu alat musik rakyat China. Danandjaja menyebutkan, instrumen musik klasik Tionghoa yang penting antara lain tambur, genta dan giring-giring, erhu, suling, zheng, qin, pipa, dan alat musik dawai.
Suling atau alat musik tiup digolongkan sebagai salah satu dari delapan alat music dasar Tiongkok. Ada tiga jenis suling, jenis umum (di atau ti), jenis suling kecil (guan/kuan), dan jenis seremoni (xiao/hsiao). Pada alat musik dawai, alat ini terbuat dari kayu dengan dua atau lebih dawai. Cara memainkannya dipetik atau digesek.
Alat musik dawai yang digesek yang ketika dimainkan diletakkan di pangkuan digolongkan menjadi huqin (biola barbar) – menunjukkan bahwa alat ini berasal dari luar China. Masuk ke China pada masa Dinasti Tang dan sudah dimainkan sejak abad ke-13. Huqin yang paling terkenal adalah erhu – dengan dua dawai. Alat ini penting dalam opera Tionghoa. Erhu berbentuk ramping dengan dua dawai yang harus digesek dengan tongkat yang juga bersenar. Senar penggesek ini terbuat dari buntut kuda.
Pipa , jenis alat musik sejenis kecapi. Alat ini bertubuh bulat dengan leher panjang (seperti buah pir) dan berdawai empat. Seperti erhu, alat ini dimainkan secara vertikal di atas pangkuan. Sedangkan qin adalah alat musik mirip kecapi atau sitar. Alat ini terbuat dari kotak kayu yang dimainkan secara horisontal. Tangan kanan memetik senar sedangkan tangan kiri menekan senar. Ada lagi kecapi dengan 13 senar bernama zhen (cheng).
Problema bahasa
Beberapa jenis alat musik klasik Tionghoa itu bisa ditemukan di Sekolah Musik Hong Hua yang sudah tiga tahun ini membuka kelas privat di Gedung Galangan VOC di Jalan Kakap No 1, Jakarta Utara. Di tempat ini, rata-rata anak usia sekolah dasar mengikuti kursus erhu dan gu zheng – sejenis sitar dengan 21 senar.
Adalah Wu Zhang Yi, kepala pengajar musik di tempat ini yang asli dari Tiongkok. Warta Kota kesulitan berkomunikasi karena pengajar musik di sini semua berasal dari Tiongkok dan tak bisa berbahasa lain kecuali bahasa ibu mereka. Kalaupun bisa berbahasa Indonesia itu hanya sepatah-sepatah saja. Sayangnya, tak ada penerjemah yang berkompeten di tempat ini.
Lantas bagaimana anak-anak di sini belajar musik? Mereka rata-rata mengerti bahasa Tionghoa – Hok Kian – sehingga mampu mencerna apa yang dikatakan sang laoshi (guru). Seperti Bodi, pelajar kelas 6 SD, yang menekuni alat musik erhu sejak sekitar setahun belakangan, ia mengatakan, dirinya bisa memahami bahasa sang laoshi, “Tapi saya enggak bisa ngomong.” Pelajar SD Tri Ratna di Jalan Ketapang ini tiap pekan belajar di tempat ini selama 45 menit.
Laoshi Wu mengatakan, setiap bulan, empat kali belajar murid-murid harus membayar Rp 400.000. Sekali belajar durasinya hanya, “Ampapululima menit,” begitu Wu menjawab dalam bahasa Indonesia yang mengambang. Alat musik, rata-rata murid membawa sendiri, kecuali alat musik seperti sitar yang sangat besar dan berat, mereka tak perlu menenteng karena sudah disediakan di kelas.
Wu yang mahir memainkan hampir semua jenis alat musik, mengatakan, belajar alat musik ini tak perlu dari kecil, asal rajin berlatih. Tentu saja, musik yang kemudian dimainkan tak perlu musik klasik dari opera China di masa silam. Cukup, misalnya, lagu anak-anak khas China atau lagu Bengawan Solo seperti yang sering dijadikan contoh oleh laoshi Wu. Setidaknya, dalam waktu dua tahun, jika rajin berlatih, seseorang sudah bisa memainkan lagu sederhana dengan alat musik klasik itu, begitu Wu menambahkan.
Selain Bodi, ada Parama, murid kelas 3 SD yang mulai menekuni gu zheng sejak sekitar setahun lalu. Bagi bocah cilik ini, bermain gu zheng seakan menenggelamkan dirinya. Pasalnya, ukuran alat musik yang dimainkan lebih besar dari ukuran badannya.
Erhu dan gu zheng hanya dua alat musik dari sekian alat musik yang bisa dibeli dan dipelajari di sini. Ada yang qin (piano China dengan 140 senar yang dimainkan dengan potongan kayu yang ujungnya ditutup bambu), pipa, dan dizi (suling). Jika ingin berlatih musik di sini, siapkan dahulu bahasa Mandarin atau minimal Ho Kian supaya tidak bengong saat tiba di kelas.
Read : http://buyingsguide.blogspot.com
Read : http://bekasijakarta.blogspot.com
Read : http://bukalowongankerja.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment