Dalam website www.vocsite.nl disebutkan, Coen magang di sebuah perusahaan di Roma yaitu di kantor Justus Pescatore (Joost de Visser) pada tahun 1601. Di tahun 1607 ia dikirim berlayar ke Hindia Belanda sebagai asisten saudagar yang bekerja pada kompeni di bawah Pieter Willemsz Verhoeff. Dua tahun kemudian, rombongan tiba di Pulau Banda. Di sinilah kompeni mulai membangun benteng namun kemudian pembunuhan terjadi pada awak kapal.
Ia berhasil meyakinkan Heren Zeventien, tentang visinya bahwa VOC bisa menguasai perdagangan di Hindia Belanda. Coen balik ke Belanda, untuk kemudian kembali lagi ke Hindia Belanda pada 1612 di saat pangkatnya opperkoopman, saudagar tinggi. Direktur perdagangan di Banten pun langsung disabet. Coen berpegang bahwa Belanda punya hak untuk mengembangkan perniagaan yang sudah dimulai di Hindia Belanda, pasalnya Belanda lebih dulu berdagang di tempat-tempat orang Spanyol dan Portugis berdagang padahal dua negara itu tak punya hak karena sudah dikalahkan Belanda.
Mimpi Coen menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan di Asia, dari Iran hingga ke Jepang. Manila, Makau, Filipina, berusaha direbut. Visinya membuat para pemimpin VOC di Belanda (Heren Zeventien) pun tergiur. Jadi tak aneh jika Coen menjabat gubernur jenderal hingga dua kali sejak 1619. Junus Nur Arif dalam tulisan “Mur Jangkung Pendiri Batavia” menulis, benteng yang dibangun Coen di muara Sungai Ciliwung semula akan diberi nama Nieuw Hoorn, sesuai dengan kota asal Coen. Di zaman itu Belanda sedang tergila-gila untuk menamakan daerah jajahan sesuai dengan kota-kota di Belanda. Contohnya New Amsterdam (kini New York).
Belum sempat Coen menamai benteng tadi, armada Inggris yang dipimpin Thomas Dale tiba pada 1618 sehingga Coen sibuk mencari bala bantuan hingga ke Banda. Pada saat Belanda terpojok, Pangeran Jayakarta diduga bersekutu dengan Inggris sehingga Sultan Banten itu berhasil menindak Jayakarta. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Coen yang akhirnya bisa merebut Jacatra pada 30 Mei 1619. Nama Batavia sebetulnya bukan keinginan Coen, itu adalah kemauan dewan pimpinan VOC.
Coen, yang kemudian menikahi Eva Ment, lebih suka bekerja sama dengan warga Tionghoa dengan alasan, mereka tak suka berperang dan rajin bekerja. Upaya menarik warga Belanda untuk tinggal di Batavia dan Indonesia pada umumnya tak berhasil, maka ia harus memilih orang untuk membangun Batavia. Orang Tionghoa menjadi salah satu pilihan selain imigran Madagaskar dan Birma.
Rencana besar Coen tak kunjung menunjukkan hasil, malah di akhir masa jabatannya yang pertama (1619-1623), VOC sudah merugi sebesar 8.000 gulden. Segala cara, bahkan menggunakan kekerasan pun diterjang oleh Coen demi cita-citanya. Kisah visi besar Coen pun akhirnya berakhir bersama dengan wafatnya sang gubernur jenderal ke empat dan enam ini. Ia wafat saat masih menjabat sebagai gubernur jenderal keenam, menggeser Pieter de Carpentier, 1627-1629.
Ironisnya, ia tak wafat di medan perang tapi kalah oleh kolera. Junus menyebutkan, pada tahun 1629 Mataram kembali menyerang Batavia. Perempuan yang tinggal di benteng diminta menyingkir. Namun, Ment tak hendak beranjak karena suaminya dalam keadaan kurang sehat. Pada 20 September 1629, malam hari, seusai makam malam, Coen sakit perut hingga duduk pun ia tak mampu. Dokter pun menyatakan, tak ada lagi yang bisa menyelamatkan Coen. Eva Ment pun membawa bayi yang baru berusia tiga hari, berpamitan pada sang suami dan ayah. Coen meninggal tengah malam di usia 42 tahun karena kolera. Ia dimakamkan di halaman gereja (kini Museum Wayang). Eva Ment kemudian kembali ke Belanda bersama Johanna, sang putri, yang tak lama kemudian juga meninggal.
Kondisi Batavia (lama) yang makin buruk, kotor, dengan penyakit yang bertebaran, akhirnya tak hanya mencabut jiwa warga, tetapi juga sang pemimpin. Sekeji apa pun JP Coen, ialah peletak dasar terbentuknya kota Jakarta.
Read : http://buyingsguide.blogspot.com
Read : http://bekasijakarta.blogspot.com
Read : http://bukalowongankerja.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment