GOOGLE SEARCH ENGINE
Custom Search

Babak Baru Sengketa Negeri Serumpun

Sekali lagi, Indonesia terlibat cekcok terbuka perebutan wilayah dengan Malaysia. Sengketa Pulau Ambalat antara Indonesia dan Malaysia memanas setelah terbetik berita bahwa pemerintah Malaysia, melalui perusahaan minyak nasionalnya, Petronas, memberikan konsesi eksplorasi sumber daya minyak kepada perusahaan Inggris-Belanda, Shell, pada 16 Februari 2005.

Malaysia mengklaim wilayah di sebelah timur Kalimantan Timur itu miliknya. Malaysia menyebut wilayah Ambalat sebagai Blok XYZ berdasarkan peta yang dibuatnya pada 1979. Indonesia menyebut blok yang sama sebagai Blok Ambalat dan Blok East Ambalat. Di Blok Ambalat, Indonesia telah memberikan konsesi eksplorasi kepada ENI (Italia) pada 1999. Sementara itu, Blok East Ambalat diberikan kepada Unocal (Amerika Serikat) pada 2004.

Arif Havas Oegroseno, Ketua Tim Teknis Perundingan Delimitasi Batas Laut RI-Malaysia, menegaskan, Indonesia mulai memberikan konsesi eksplorasi kepada berbagai perusahaan minyak pada 1961 dan berjalan terus. "Jadi sudah 37,5 tahun," ujarnya kepada Tempo.

Masalah muncul ketika Malaysia membuat peta secara sepihak pada 1979. "Peta ini merupakan upaya mencaplok wilayah orang," ujar Arif, yang sehari-hari menjabat sebagai Direktur Perjanjian Luar Negeri Departemen Luar Negeri RI.

Arif mengatakan, peta itu diprotes bukan hanya oleh Indonesia, tapi juga Singapura, Filipina, Cina, Thailand, dan Vietnam. Inggris pun melayangkan protes atas nama Brunei Darussalam, saat negeri mungil di belahan utara Pulau Kalimantan itu belum merdeka.
"Legitimasi peta ini dipertanyakan banyak orang sampai sekarang," katanya.

Hasyim Djalal, mantan diplomat yang pernah terlibat aktif dalam perundingan sengketa Sipadan dan Ligitan pada 1969, berpendapat, posisi Indonesia jelas lebih kuat daripada Malaysia. Dalam hukum internasional, kata dia, Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat atas dasar laut di luar wilayahnya sampai sejauh 200 mil dari garis dasar.
"Atau kalau masih memungkinkan, garis itu bisa ditarik hingga ada kelanjutan alamiah wilayah darat, sampai dasar samudra (ocean cruft)," kata Djalal kepada Tempo dalam wawancara per telepon Minggu (6/4).

Djalal menjelaskan, garis dasar adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar. "Kalau kita tarik dari garis lurus itu, Ambalat masuk di dalamnya dan bahkan lebih jauh ke luar lagi," kata Djalal, yang kini duduk di Dewan Maritim Indonesia. Djalal menegaskan, sikap itu sudah dicantumkan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960, yang kemudian diakui dalam Konvensi Hukum Laut 1982.

Bangsa Indonesia berhasil memperjuangkan konsep hukum negara kepulauan (archipelagic state) hingga diakui secara internasional. Pengakuan itu terabadikan dengan pemuatan ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Konvensi ini ditetapkan dalam Konferensi Ketiga PBB tentang Hukum Laut di Montego Bay, Jamaica, pada 10 Desember 1982.

Konvensi itu kemudian diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS. Konsep hukum negara kepulauan sudah dianut Indonesia sejak pengesahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 diperbarui dengan UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Pertanyaan muncul, apakah setelah menang di International Court of Justice (IJC) pada 2002 dalam kasus Sipadan-Ligitan, Malaysia bisa melakukan hal yang sama, menarik garis dari garis dasar? Djalal mengatakan bisa saja. Tapi garis yang ditarik itu, kata dia, tidak akan sampai ke Ambalat. Menurut Djalal, dalam mengajukan klaimnya saat ini, Malaysia menarik garis tengah antara Nusantara Indonesia dan garis lurusnya sendiri.
Djalal menambahkan bahwa masalah yang dihadapi Indonesia saat ini terkait dengan kasus Sipadan dan Ligitan. "Masalahnya, saat bertengkar dengan Malaysia dalam kasus Sipadan dan Ligitan, kita tidak meminta Mahkamah Internasional memutuskan garis perbatasan laut sekaligus. Kita tidak pernah merundingkannya," kata Djalal.

Di atas kertas, Indonesia amat percaya diri dengan melihat riwayat sengketa Ambalat. Setelah keluar peta Malaysia 1979, Indonesia memprotesnya pada 1980. "Kita katakan kepada Malaysia bahwa kita tidak mengakui petanya," kata Arif. Pascapeta itu, menurut Arif, Indonesia terus melakukan konsesi dan Malaysia tidak pernah mengajukan protes.

Nah, dalam kelaziman hukum internasional, menurut Arif, karena Malaysia tidak memprotes, itu berarti pengakuan terhadap sikap Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 4 Tahun 1960. Malaysia, kata Arif, baru mulai mengajukan nota protes pada 2004 setelah menang dalam kasus Pulau Sipadan-Ligitan.

Arif lalu menguraikan, pada 1998 Indonesia memberikan konsesi kepada Shell untuk melakukan eksplorasi minyak. Malaysia tahu itu, tapi tidak memprotes. Akhir 2004, saat Indonesia menawarkan konsesi blok baru di Ambalat, tiba-tiba Malaysia protes. "Kita katakan bahwa kita tak bisa menerima protes mereka, karena itu wilayah kita." Karena dasar klaimnya adalah peta 1979 yang diprotes banyak pihak, menurut Arif, Malaysia sama sekali tidak punya dasar hukum.

Arif menandaskan, keputusan ICJ dalam kasus Sipadan-Ligitan sama sekali tidak bisa menjadi dasar klaim Malaysia. "Keputusan ICJ pada 17 Desember 2002 adalah keputusan menyangkut kedaulatan Sipadan dan Ligitan," katanya. Lalu, kata Arif, hakim menegaskan, kedaulatan atas dua pulau tak berpenghuni dan batas landas kontinen adalah dua hal yang sangat berbeda.
Hakim ICJ berpendapat, masalah delimitasi (garis batas) landas kontinen harus dipandang dengan sudut pandang berbeda, yaitu Konvensi Hukum Laut 1982. Sampai kini, garis landas kontinen yang diakui dunia adalah garis yang ditetapkan Indonesia dalam UU Nomor 1960. Dalam Konvensi Hukum Laut, landas kontinen atau continental shelf adalah area miring di bawah laut yang mengelilingi suatu kontinen pada kedalaman 200 meter. Pada ujung lereng area itu, lereng kontinen menukik ke bawah secara tajam hingga dasar laut.

"Kesimpulannya, keputusan penentuan kedaulatan atas dua pulau ini (Sipadan-Ligitan) tidak mempunyai direct barring terhadap delimitasi landas kontinen," ujar Arif.
Dalam waktu dekat, Indonesia akan mengadakan pertemuan antarpejabat senior dengan Malaysia. Sebetulnya pertemuan itu diusulkan Indonesia tahun lalu untuk dilaksanakan pada Maret ini. Namun, kata Arif, Malaysia menyatakan baru siap Mei. Sudah begitu, Malaysia pun hanya sekadar pertemuan, bukan negosiasi. "Mereka bilang pertukaran pandangan saja. Kalau pertukaran pandangan kita sudah melakukannya tahun lalu di Kuala Lumpur."

Pihak Indonesia, masih menurut Arif, ingin membicarakan akar masalahnya sekaligus, yaitu peta 1979, sehingga tercakup Laut Sulawesi, Selat Malaka, Selat Singapura, dan Laut Cina Selatan. "Mereka tidak mau, dan hanya mau membicarakan soal Laut Sulawesi.

Pada Juli 2004 Indonesia sudah mengajak dialog soal ini. Tapi Malaysia mengatakan belum siap karena sedang melakukan survei titik dasar (precise location) dari peta 1979. "Lucu, mereka sudah membuat peta, tapi baru sekarang melakukan survei untuk menentukan tepatnya di mana?"


0 komentar:

Post a Comment

 

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

RECENT COMMENT