JAKARTA LIFE'S STYLE
Salman Aristo, penulis skenario produktif yang belakangan menggarap naskah skenario film Mengejar Mimpi besutan perusahaan film Miles Production, mengaku tidak menyangka perseteruan artis Luna Maya dan sejumlah awak infotainment berlanjut panjang dan berbuntut serius sampai ke ranah hukum.Dia hanya mengaku ingat, seusai penayangan perdana film tadi di Plasa EX, Jakarta, 15 Desember 2009, bersama istrinya mengaku sangat khawatir dengan sikap para awak pekerja infotainment saat ”memburu” Luna yang saat itu menggendong putra kekasihnya (pemusik Ariel) yang tertidur dalam gendongannya.
Walau mengaku sudah terbiasa melihat perilaku seperti itu, Salman tak urung mengaku sangat khawatir, terutama ketika Luna dan anak yang digendongnya itu terdesak sampai ke tangga eskalator.
Salman berpikir, bagaimana kalau tiba-tiba mereka berdua terdorong dan terjatuh lantaran terdesak belasan pekerja infotainment yang lengkap membawa berbagai peralatan kerja, seperti lampu sorot dan berbagai macam kamera.
Luna kemudian ”curhat” dalam akun microblogging Twitter-nya. Buntutnya, ia pun diadukan para pekerja infotainment ke kepolisian dengan tuduhan berlapis-lapis.
Menurut Ketua PWI Jaya Kamsul Hasan dalam pesan singkatnya ke Kompas, dirinya membenarkan telah mendampingi para pekerja infotainment mengadukan perkara itu ke Polda Metro Jaya. Ada banyak pasal yang dikenakan kepada Luna, antara lain Pasal 310, 311, 315, dan 335 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Tidak cukup dengan sederet pasal tadi, para pekerja infotainment dan PWI Jaya juga menyertakan sejumlah pasal kontroversial dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terutama Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 1 dalam perseteruan tersebut.
Ironis
Sejumlah kalangan menilai, penggunaan UU ITE oleh para pekerja infotainment dalam kasus perseteruan mereka sangatlah ironis.
Bagaimana tidak, masih segar dalam ingatan, kontroversi penggunaan kedua pasal UU ITE tadi dalam kasus perseteruan Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera dan seorang ibu rumah tangga, Prita Mulyasari.
Kasus ini kemudian menyedot solidaritas publik lewat gerakan fenomenal, ”Koin Kepedulian untuk Prita”.
”Saya yakin mereka (pekerja infotainment dan PWI Jaya) sama sekali tidak paham bahayanya UU ITE itu. Seharusnya mereka tahu, sejak awal kami di Dewan Pers sudah menolak keras dan bahkan menyerukan ke pemerintah dan DPR kalau sejumlah pasal dalam UU ITE, seperti Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 1, adalah musuh kemerdekaan pers dan berekspresi,” ujar Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara.
Bahkan, tambah Leo, dengan pasal dan UU itulah seorang ibu rumah tangga seperti Prita bisa langsung ditahan dan dituntut enam tahun penjara hanya karena menuliskan keluhannya atas pelayanan RS Omni Internasional Alam Sutera dan mengirimkannya lewat surat elektronik pribadi ke sejumlah rekannya.
Leo membenarkan, walau tidak berbentuk badan hukum, secara substantif akun jejaring sosial seperti Twitter atau Facebook masuk dalam bentuk hasil kegiatan jurnalistik yang menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia, seperti diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
”Oleh karena itu, kemarin kita bela Prita Mulyasari. Seharusnya kalau merasa dirugikan, para pekerja infotainment itu silakan menggunakan hak jawab atau kalau perlu adukan ke Dewan Pers. Menggunakan UU ITE sama artinya setuju dan mendukung aturan itu, yang juga berarti mendukung upaya mengkriminalisasi pers. Hal seperti itu teramat ironis dan memprihatinkan,” ungkap Leo prihatin.(KOMPAS)
0 komentar:
Post a Comment