GOOGLE SEARCH ENGINE
Custom Search

Punahnya Bioskop Primadona di Indonesia

The image “http://www.tribun-timur.com/photo/2009/01/7cf0f80e8989ab6709fd018cde8eb43f.jpg” cannot be displayed, because it contains errors.
BIOSKOP - Gedung bioskop Megaria ketika masih bernama Metropole.

BICARA soal film, tak bisa lepas dari bicara soal bioskop, tempat orang berkumpul untuk menikmati produk budaya tersebut. Produk berupa gambar bergerak (motion picture) itu dimulai sejak abad ke-19 di Eropa.

Di Indonesia, pada masa awal abad ke-20, bangsa ini menyebutnya sebagai gambar idoep. Adalah Lumiere bersaudara, Auguste dan Louis, yang pada 28 Desember -113 tahun lalu- dipercaya sebagai peletak batu pertama bagi lahirnya produksi film dan bioskop.

Di Grand Cafe, Boulevard des Capucines, Paris, dua saudara itu mempertunjukkan beberapa film sangat pendek garapan mereka, dan penonton diminta membayar. Mereka tak hanya membuat dan memutar karya tapi juga menyebarkan demam gambar idoep tersebut ke pelosok bumi. Bioskop jadi sarana terpenting perkembangan film.

Demam yang dimulai di Eropa tahun 1895 itu pun sampai ke Hindia Belanda. Surat kabar Bintang Betawi, 4 Desember 1900, menurunkan berita, "Besok hari Rebo 5 December pertoendjoekan besar jang pertama didalem satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (Menage) disabelahnya Fabriek Kereta dari Maatschappij Fuchs. Moelain poekoel toedjoe malem. Harga tempat kelas satoe f2 klas doe - wa f1 klas tiga f0,50."

Pertunjukan film bisu yang digagas De Nederlandsch Bioscope Maatschappij (Perusahaan Gambar Idoep) ini tercatat sebagai pertunjukan pertama dan bioskop pertama di Batavia. Dalam lima tahun, bioskop ternyata disambut baik.

Jam pertunjukan ditambah, kelas pun ditambah menjadi empat. Minat penonton untuk melihat keajaiban gambar jang idoep makin tinggi. Buku Dari Gambar Idoep ke Sinepleks terbitan GPBSI 1992 menyebutkan, orang Tionghoa pun mulai terjun ke bisnis ini.

Tio Tek Hong, pedagang di Batavia, mendirikan Bioskop Elite di Jalan Pintu Air. Bioskop ini menemani Rembrandt Theater yang sudah ada lebih dulu. Di kemudian hari bioskop tak lagi dipisahkan dengan kelas tapi juga ras, yakni antara kulit putih (Eropa) dan kulit sawo matang (pribumi).

Deca Park (di lapangan Monas/Gambir kini) dan Capitol (sekarang pertokoan di Jalan Pintu Air/depan Masjid Istiqlal)) adalah bioskop yang khusus untuk warga kulit putih. Alwi Shahab, penulis berbagai cerita tentang Jakarta di masa silam, mengatakan, "Capitol hanya memutar film - film Barat (AS). Beda dengan Metropole yang masih memutar film Indonesia." Tak jauh dari Capitol berdiri pula bioskop Astoria.

Bagi kelas menengah, ada Bioskop Kramat. Pada tahun 1911 warga Tionghoa lain, Tan Koen Yauw, membangun bioskop di bekas gudang beras di Jalan Senen Raya, yakni bioskop West Java. Pada 1920, nama bioskop rakyat ini berubah menjadi Rialto (sekarang Gedung Kesenian Wayang Orang Bharata). Di Tanahabang, Koen Yauw mendirikan bioskop dengan nama sama, Rialto, dan kemudian berubah menjadi Surya.

FFI pertama

Teknologi perfilman dunia bergerak maju, film bisu pun kemudian bersuara. Bisnis ini makin bergairah. Hingga tahun 1970-an, bioskop yang masuk dalam bioskop mahal hanyalah berupa bangunan dari batu dengan atap seng. Di kawasan Pancoran Glodok, bioskop adalah bangunan dari dinding bambu dengan atap rumbia dan tidak menetap, bisa berpindah-pindah.

Bioskop Orion (kini menjadi Plaza Orion/pertokoan elektronik) di Glodok adalah kembang kawasan ini. Orion kemudian ditemani Bioskop Thalia, Queen, Chandra (antara tahun 1950 dan 1970-an), namun kemudian satu per satu akhirnya rontok.

Meski bangunan bioskop waktu itu belumlah permanen seperti sekarang, penonton yang datang ke Bioskop Globe (Pasar Baru), Cinema Palace (Krekot), Deca Park, ataupun Dierentuin Cikini (kini Kompleks Taman Ismail Marzuki) selalu berpakaian rapi dan tertib. Berbeda dengan pengunjung di Bioskop Rialto yang merupakan bioskop rakyat.

Jika hingga tahun 1936 tercatat hanya 15 bioskop di Jakarta, maka hingga tahun 1970 Jakarta sudah dilengkapi 53 bioskop. Majalah Star News edisi 15 Desember 1955 menuliskan tentang bioskop di Ibu Kota yang siap menghibur warga Jakarta. Disebutkan ada lebih dari 30 gedung bioskop, meski kemudian tertulis, "Djumlahnja sulit dipastikan."

Tahun 1950-an tercatat banyak peristiwa penting dalam dunia perbioskopan Jakarta. Selain karena Bioskop Metropole (kini Megaria) muncul jadi bioskop kelas satu dan sebagai bioskop kontrak dari Metro - Goldwyn - Mayer (MGM), juga karena peristiwa terbakarnya bioskop Capitol di usia 45 tahun. Tapi yang paling menarik adalah untuk pertama kali Festival Film Indonesia (FFI) digelar di Bioskop Cathay (sekarang pertokoan di Jalan Gunung Sahari) pada 1955.

Star News juga menyebutkan, di tahun itu bioskop seperti Garden Hall, Podium (terletak di kompleks Kebun Binatang Taman Raden Saleh - kini kompleks Taman Ismail Marzuki), Majestic (Kebayoran Baru), Roxy, Rivoli, bersama-sama menghibur warga Jakarta.

Hingga tahun 1980-an bioskop-bioskop tersebut masih jadi bioskop primadona. Tapi kemudian, puluhan bahkan ratusan bioskop harus mengalah pada perubahan zaman. Entah diubah agar sesuai, disulap menjadi pertokoan, mati suri, atau memang mati sungguhan




0 komentar:

Post a Comment

 

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

RECENT COMMENT