Yogyakarta: Hingar bingar politik di Indonesia, banyak politikus yang membawa-bawa agama sebagai bemper kiprah politik mereka. Terutama Islam. “Sekarang ini musim politik, semua dipolitisir, Islam masuk politik tetapi berpolitiknya kurang pede (percaya diri), kalau mau berpolitik pakailah ilmu politik, jangan bawa-bawa Tuhan ke politik,” kata Gus Mus, panggilan akrab K.H. Ahamd Mustofa Bisri usai menerima gelar Doctor Honoris Causa dai Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Sabtu (30/5).
Ia menambahkan, akhir-akhir ini keindahan islam justru bukan hanya tidak tampak. Tetapi dalam banyak hal menampakkan kebalikannya. Keindahan Islam hanya tampak dalam sila-sila Pancasila tanpa mewujud dalam kehidupan.
“Sila Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya, yang seharusnya mampu memerdekakan manusia, tidak mampu lagi membuat manusia melepaskan diri dari belenggu perbudakan materi dan kepentingan diri sendiri. Sehingga, sila-sila pada Pancasila yang lain otomatis tidak bermakna,” kata dia dalam pidato nya.
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menganugerahkan gelar Doctor Honoris Causa kepada KH Ahmad Mustofa Bisri, seorang budayawan dan Kiai asal Rembang, Jawa Tengah. Penganugerahan tersebut atas kiprah dia dalam bidang kebudayaan Islam.
“Dia sangat pantas untuk mendapatkan anugerah Doctor Honoris Causa, ia memiliki pemikiran, kepribadian dan kehidupan yang sama dengan visi UIN,” kata Amin Abdullah, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Sabtu (30/5).
Kesamaan tersebut, kata Amin, terletak pada pemikiran bagaimana membuat ajaran agama Islam memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan umat. Gus Mus, panggilan akrab Ahmad Mustofa Bisri, berusaha “membumikan” Islam dengan pendekatan budaya. Sehingga nilai-nilai Islam merasuk dan membudaya dalam perilaku masyarakat.
Penganugerahan juga dihadiri oleh para budayawan sepert Emha Ainun Nadjib, D Zawawi Imron, M Sobari dan tokoh seperti M Syafii Maarif, Dien Syamsuddin, M Mahfud MD.
“Gus Mus merupakan sosok yang dapat menerima konsep occidental dan sekaligus tradisional oriental,” kata Amin.
Penganugerahan Doctor Honoris Causa oleh UIN Sunan Kalijaga ini tegolong langka setelah lebih 30 tahun yang lalu saat masih menjadi IAIN (Institut Agama Islam Negeri) memberikan gelar tersebut kepada Mufti Syria, Ahmad Badruddin Hasyim.
Usai penganugerahan, Gus Mus merasa sangat senang. Padahal sebelum penganugerahan, pada awalnya ia sempat menolak penganugerahan tersebut, namun setelah panitia menjelaskan penganugerahan tidak hanya karena pribadi Gus Mus, namun juga pada ajaran-ajaran Islam yang disampaikan oleh Gus Mus. Sehingga Gus Mus berkenan menerima anugerah tersebut.
“Ini pertama kali saya memakai toga, saat di Cairo pun tidak memakai toga,” kata Gus
Mus dengan tersenyum. Menurut Gus Mus, orang Islam di Indonesia masih terjebak oleh Fiqih halal dan haram. Namun tidak memahami Islam itu sendiri.
“Islam di Indonesia lebih ke fiqih. Selalu dengar halal-haram, rokok haram, facebook haram. Islam itu tidak hanya halal-haram saja, tapi bagaimana Islam bisa memberi ketenteraman kehidupan manusia," kata Gus Mus
Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dien Syamsuddin menyatakan pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Gus mus sangat tepat. Apalagi selama ini, pengasuh Pondok Pesantren Taman Pelajar Rembang itu banyak memberi warna kebudayaan Islam di tanah air. Untuk konteks kebudayaan di Indonesia, pemikiran-pemikiran, karya dan kiprah Gus Mus sangat nyata dalam mengembangkan warna Islam yang disebut Islam budaya.
"Gus Mus memberi konteks nuansa budaya Islam, meski Islam tidak bisa direduksi atau banyak mendapat embel-embel. Pentingnya penonjolan Islam sebagai manifestasi kultural jadi kenyataan, ada bukti empiris dalam kehidupan masyarakat Indonesia," kata Dien. www.tempointeraktif.com
0 komentar:
Post a Comment